Kontemplasi Nusantara Raya
Apakah kita semua lupa?
Apakah kita semua lalai?
Apakah memang kita semua tidak mau tahu?
Ketika ekonomi dan politik menjadi taghut-taghut yang kita sembah,
Ketika intelektualitas dan logika menjadi sesembahan kita,
Ketika kehidupan hedonistis menjadi berhala kita,
Bahkan, ketika agama dan syari’at pun kita jadikan Tuhan,
Nampaknya,
Kita semua lupa,
Kita semua lalai,
Atau bahkan sebenarnya kita semua munafik,
Diam-diam…,
Syirik musyrik telah membius diri,
Bid’ah dan sesat telah merasuk dalam darah,
Pantas…
Jika Allah menurunkan azab-Nya,
Sangat pantas…
Jika Allah dengan kasih-Nya memberikan pelajaran,
“Asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu ana Muhammaddan rasulullah,
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,
La hawla wala quwata ila bilahil aliyul adzhim,”
Patut kita akui,
Nyatanya kita memang terlupa,
Hanya sorga menjadi tujuan kita,
Hanya rizqi menjadi dambaan kita,
Nyatanya kita memang terlupa,
Sesungguhnya Allah lah pencipta sorga dan rizqi,
Semestinya…,
“Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi,
Allah adalah tujuanku dan ridho Allah yang kucari,”
Semestinya…,
Dengan syari’at, kita mengenal toriqoh (jalan menuju Allah),
Dengan toriqoh, kita mengenal hakekat,
Dengan hakekat, kita berma’rifat (mengenal Allah),
Semestinya…,
Agama dan syari’at bukan sarana menghakimi sesama,
“Inna robbi latifu limayasan, innahu wa alimul hakim,”
Nampaknya,
Kita tidak mau tahu akan ayat-ayat-Nya,
Kita tidak mau membaca tanda-tanda-Nya,
Kita tahu.., tapi sengaja berselingkuh,
Apakah kita tahu?
Ketika Adam Air jatuh dan raib,
Itulah tandanya bahwa hati dan bathin (adam) kita sirna,
Apakah kita tahu?
Ketika Senopati Nusantara tenggelam tak berbekas,
Itulah tandanya bahwa musnahnya jiwa kepemimpinan nusantara,
Apakah kita tahu?
Ketika Garuda jatuh terbakar,
Itulah tandanya bahwa Pancasila telah tumbang di negeri ini,
Apakah kita tahu?
Ketika bencana bersahutan menerpa bumi ini,
Itulah tandanya bahwa pasukan sapu jagad (sirrullah) tengah bersiap,
Melibas orang-orang ingkar dan munafik,
Apakah kita tahu?
Ketika semburan lumpur Porong tak jua usai,
Itulah tandanya bahwa “seseorang” tengah dinanti,
Aulia pilihan dan kekasih Allah,
Sang Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu,
Siapa lagi kalau bukan Sang Pamomong Nuswantoro,
Telah terlihat Parikesit dibawah asuhan Abiyasa,
Tak lama lagi,
Akan datang Gajah Mada muda,
Dengan ruh Bhinneka Tunggal Ika,
Kokoh berpijak laksana Garuda Kencana,
Dengan menghunus Naga Runting,
Kembali bersumpah, mengucap Hamukti Palapa,
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa,”
Berdua datang bak Musa dan Harun,
Itulah Sabdo Palon dan Noyo Genggong.
Jayalah Negeriku,
Tegaklah Garudaku,
Jayalah Nusantaraku…
(nurahmad)
Posted on 20.25 by ActivityNizirwan and filed under | 0 Comments »
Apakah kita semua lalai?
Apakah memang kita semua tidak mau tahu?
Ketika ekonomi dan politik menjadi taghut-taghut yang kita sembah,
Ketika intelektualitas dan logika menjadi sesembahan kita,
Ketika kehidupan hedonistis menjadi berhala kita,
Bahkan, ketika agama dan syari’at pun kita jadikan Tuhan,
Nampaknya,
Kita semua lupa,
Kita semua lalai,
Atau bahkan sebenarnya kita semua munafik,
Diam-diam…,
Syirik musyrik telah membius diri,
Bid’ah dan sesat telah merasuk dalam darah,
Pantas…
Jika Allah menurunkan azab-Nya,
Sangat pantas…
Jika Allah dengan kasih-Nya memberikan pelajaran,
“Asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu ana Muhammaddan rasulullah,
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un,
La hawla wala quwata ila bilahil aliyul adzhim,”
Patut kita akui,
Nyatanya kita memang terlupa,
Hanya sorga menjadi tujuan kita,
Hanya rizqi menjadi dambaan kita,
Nyatanya kita memang terlupa,
Sesungguhnya Allah lah pencipta sorga dan rizqi,
Semestinya…,
“Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi,
Allah adalah tujuanku dan ridho Allah yang kucari,”
Semestinya…,
Dengan syari’at, kita mengenal toriqoh (jalan menuju Allah),
Dengan toriqoh, kita mengenal hakekat,
Dengan hakekat, kita berma’rifat (mengenal Allah),
Semestinya…,
Agama dan syari’at bukan sarana menghakimi sesama,
“Inna robbi latifu limayasan, innahu wa alimul hakim,”
Nampaknya,
Kita tidak mau tahu akan ayat-ayat-Nya,
Kita tidak mau membaca tanda-tanda-Nya,
Kita tahu.., tapi sengaja berselingkuh,
Apakah kita tahu?
Ketika Adam Air jatuh dan raib,
Itulah tandanya bahwa hati dan bathin (adam) kita sirna,
Apakah kita tahu?
Ketika Senopati Nusantara tenggelam tak berbekas,
Itulah tandanya bahwa musnahnya jiwa kepemimpinan nusantara,
Apakah kita tahu?
Ketika Garuda jatuh terbakar,
Itulah tandanya bahwa Pancasila telah tumbang di negeri ini,
Apakah kita tahu?
Ketika bencana bersahutan menerpa bumi ini,
Itulah tandanya bahwa pasukan sapu jagad (sirrullah) tengah bersiap,
Melibas orang-orang ingkar dan munafik,
Apakah kita tahu?
Ketika semburan lumpur Porong tak jua usai,
Itulah tandanya bahwa “seseorang” tengah dinanti,
Aulia pilihan dan kekasih Allah,
Sang Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu,
Siapa lagi kalau bukan Sang Pamomong Nuswantoro,
Telah terlihat Parikesit dibawah asuhan Abiyasa,
Tak lama lagi,
Akan datang Gajah Mada muda,
Dengan ruh Bhinneka Tunggal Ika,
Kokoh berpijak laksana Garuda Kencana,
Dengan menghunus Naga Runting,
Kembali bersumpah, mengucap Hamukti Palapa,
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa,”
Berdua datang bak Musa dan Harun,
Itulah Sabdo Palon dan Noyo Genggong.
Jayalah Negeriku,
Tegaklah Garudaku,
Jayalah Nusantaraku…
(nurahmad)
0 komentar:
Posting Komentar